Belajar jadi Petani

‘Menanamlah, karena tidak ada ruginya. Kalau bukan engkau yang menikmati, ya orang lain. Menanam (pohon) itu amal jariyah.’
Pesan almarhum ayahanda ternyata sangat diingat suami dan jadi dalih hobinya menanam ini itu di manapun kami tinggal.

Pola new normal tak pelak berdampak pada kami. Tercebur pada situasi baru, pilihan untuk bergerak ke kanan atau kiri, hingga akhirnya mengambil keputusan yang bahkan tak mampir di benak. Keengganan hidup di ibukota dengan hingar bingar kemacetan, sampah, trotoar dan parit yang buruk disertai perilaku manusia yang membuat absurd tiba-tiba jadi berbalik arah.

Pindah hidup di kota ! Hola ! di sinilah kami. WFH saja. Niat awal kami akan membuat pertanian subsisten. Bertanam sayur dan buah yang mencukupi kebutuhan sehari-hari. Semangat 45 di benak, dengan rencana ini itu. Dan ternyata…

(Berniat jadi) Petani Organik
Eh, tanahnya kok lain ya…
Eh, batang kelor yang ditancap ke tanah, malah mati, padahal sempat bertunas saat diletakkan begitu saja…
Eh, kembang melati dan jarak merah disikat ulat..
Eh, bibit cabenya keriting plus diserang hama…
Oh… tidaaakkk!

Ini masih tanaman biasa, lha bagaimana dengan tanaman holtikultura? Ternyata menjadi petani itu sulit. Kami tak sangka keanekaragaman hayati hama menyerang tanaman dengan masif. Ulat aneka rupa dan bentuk, kaki seribu, kutu putih, semut, dll menghajar tanaman tanpa ampun. Padahal kami sudah berniat bertanam organik, tanpa produk sintetis.

Kondisi ini tak pernah kami alami sebelumnya kala tinggal di Jogja, Sulawesi, ataupun Kalimantan. Cabe busuk yang disebar pun bisa jadi bibit. Batang kelor yang ditancap di tanah pun bisa menghasilkan daun yang besar dan segar. Kembang matahari tak ada yang diserang ulat. Aneka hama sejauh yang kami tahu, tak pernah seperti ini.

Bingung, sedih, akhirnya beli juga pupuk dan pestisida sintetis, meskipun kemasan kecil. Yang membuat saya tercengang adalah ada banyak warning dalam penggunaan bahan ini. Tidak boleh terkena kulit, terhirup, alatnya khusus untuk produk kimia tsb, dll.. kok ngeri amir ya. Jadilah produk sintetis itu ngendon saja.

Apakah ini yang sehari-hari dipakai petani? Wah besar sekali pengorbanannya untuk kita, kaum konsumen. Sementara kita cukup mengeluarkan uang untuk beli cabe dan bayam. Itu pun keuntungan banyak lari ke penjual. Lalu berapa rupiah kah yang mereka dapatkan sebagai penghasilan, sementara petani musti beli pupuk, insektisida, bibit, dll yang tidak sedikit? Masih ada resiko lain-lain.

Petani, itu profesi yang dianggap kurang mentereng dibanding profesi lain karena dianggap kurang menjanjikan. Padahal, petani banyak dikorbankan demi harga rendah, demi pasokan pangan, demi lain- lain. Dan kita, manusia umumnya menikmati hasil tani dengan murah, menjerit kala harga cabe dan bawang mahal. Sementara petani selalu menjerit karena biaya produksi lebih besar daripada keuntungan. Tidak mudah lho, jadi petani.

Pestisida Nabati dan Pupuk Organik
Bertanya pada kawan yang memang kuliah pertanian, membuat kami sampai pada kesimpulan, mungkin ekosistem di kota sudah rusak. Banyak hama bisa jadi tanda : mereka butuh makan dan berkembang biak. Mungkin tanaman di sekitar pakai pestisida sehingga mereka nyaman melahap tanaman kami yang tanpa pestisida. Bisa jadi predatornya tidak ada, rantai makanan putus di tengah jalan. Hama resisten, mungkin terbiasa dengan pestisida sehingga muncul varian yang lebih kebal.

Lalu apa yang dilakukan?

Mimba. Konon ini pestisida nabati yang manjur. Beli dong, bibitnya online dari Kediri. Sekarang ada 2 planterbag di belakang. Sudah dibuat resep pesnab mimba? Belum berhasil. Niatnya bikin neem oil. Kemarin pengeringan daun nggak kemripik juga, padahal di youtub katanya bisa. Tapi kok ada ulat yang dengan asyiknya nongkrong di daun mimba ? Wkwkwkwk..

Ramuan kulit bawang? Ah, ini kurang manjur. Hampir tiap hari saya semprotin, tapi hama datang juga. Tampaknya niat organik harus disertai tekad dan aksi konsisten, bahkan mencoba resep baru yang lebih canggih. Infused water bawang putih ? Hmm kayaknya juga kurang mempan. Terbukti kutu putih masih ada. Coba resep baru lagi ya.

Hidrogen peroksida? Sudah bikin dengan konsentrasi 3%, dan disemprotkan ke tanaman berhama. Kadang juga saya lap daunnya setelah kena H2O2 ini namun tampaknya masih kurang berhasil. Baking soda + terigu? Pernah juga, tujuannya membasmi hama, tapi karena hama nempel di daun, yang jadi daunnya malah kepanasan 😂 sehingga urung saya gunakan lagi.

Tembakau? Ya, ini dulu juga pernah kami lakukan, tapi mengingat rokok itu berbahaya dan dilarang dokter, kalau tanamannya dikasih ramuan tembakau, apa nggak kontra produktif dengan kata bu dokter? Jadi saya skip saja.

Agen hayati. Saya juga baru tahu kalau ini ada. Mereka adalah kawan petani melawan hama, di antaranya ada jamur tricoderma, jamur beauveria bassiana, dan bakteri bacilus thuringensis. Tricoderma ini senjata untuk melawan fusarium yang aplikasinya ke tanah. Beauveria melawan rupa-rupa hama serangga yang disemprot langsung.   Tubuh hama akan terselubungi miselium putih. Saya sudah mencoba ketiganya, kala melihat tanaman menjerit diserang hama dan semprotan pesnab kurang manjur.  Ah, saya suka. Semoga agen hayati ini memang aman diaplikasikan, tidak seperti pestisida lainnya.

Tentang Refugia
Apa itu refugia? Ini adalah tanaman pelindung untuk mengalihkan hama agar tidak menyerang tanaman utama. Pilihan kami adalah bunga matahari, karena memang punya bijinya. Ternyata memang beneran refugia: tanaman jadi sasaran hama mulai dari semut, belalang, hingga ulat. Ada yang berhasil survive (hidup-tumbuh), ada juga yang goyah dan akhirnya jatuh lesu di tanah dengan daun menggulung.

Ada juga tanaman yang saya kira bisa melalui serangan hama namun beberapa hari yang lalu, ulat-ulat berkerumun di daunnya. Ngeri. Buat saya ini pemandangan vulgar nan menyeramkan yang tak layak ditampilkan fotonya. Dan saya belum juga belum terbiasa melihat hama. Walhasil kalau sudah begini, si bapak yang ngambilin ulat atau memotong daun yang terserang.

Refugia oh refugia. Mungkin kita hanya tahu bawa kembang disukai hama, ternyata konsepnya memang untuk mengalihkan hama dari tanaman utama, semacam dikorbankan ya. Rencana akan cari bibit marigold agar bunga matahari tidak kerja sendirian sebagai benteng hama.

Magang di Dapur Artisan

Bersama awal corona, dengan kompleksitas hidup yang indah, saya menjalani pola hidup baru. Seperti di reset setelah terhilang di hutan dengan improvisasi dan keterbatasannya, tetiba kami tercerabut ke kota (jogja). Dunia yang lebih fleksibel dan terbuka akses segala.

Corona dan Dapur
Tetangga rumah ibu adalah pembuat kue. Dari jongkong, jadah manten, sampai soes dan risol mayo, uenak semua. Sering kali  aroma semerbak muncul di tengah malam, pertanda shift malam bekerja. Tangan-tangan terampil perempuan perkasa yang terus bergerak mengelola pesanan. Efek ngerasain kue bude sebelah, tiap kali ngicip kue lain, jadi terasa beda level.

Ternyata corona juga punya imbas di dunia perkulineran. Sepinya hotel, pindahnya bandara ke tempat baru, sepinya aktivitas kumpul dan syukuran, berimbas juga ke usaha perkuean. Aroma kue itu agak berkurang.

Nah, bakery tempat saya magang ini bukan di tetangga sebelah, tapi di rumah ibu. Ternyata ada jewel in the palace di keluarga ini. Ya, kakak pertama merintis usaha kue rumahan. Dengan spirit mengolah makanan yang bisa dinikmati ibunda yang banyak pantangan, kakak bereksperimen bikin ini-itu. Menyenangkan!

Kalau ibu bilang, enak… berarti enak. Kalau ibu bilang, kemanisan, berarti takaran gula perlu dikurangi. Kalau overcook, berarti dibuat ulang.  Kalau sulit dimakan, ya sudah, drop saja, tapi biasanya kakak punya aja ide ini itu sehingga menghasilkan kue baru. Senyum, lelah tapi bahagia.

Berpetualang Rasa
Ternyata teknik dan ilmu memasak itu banyak. Terigu – tanamannya tak ada di Indonesia,  demikian masif dipakai sebagai bahan kue yang murah dan mudah. Tepung ini dengan teknik tertentu bisa jadi adonan pasir, liat, cair, dan berubah bentuk begitu saja.

Eksperimen, makan, lalu berkomentar. Biar balance, kami icip masakan yang sudah eksis, merasakan bumbu, tekstur, rasa, membayangkan cara masaknya, lalu membandingkan dengan masakan kakak. Setelahnya dengan semangat 45, kakak akan bikin hidangan baru dengan pengembangan metode atau bahan.

Buka buku resep, liat tv, lalu praktek sesuatu yang baru lagi. Kami jadi sering nonton Asian Food Network atau Nat Geo People. Ternyata resep masakan itu saling berhubungan di berbagai belahan dunia. Nenek moyang yang bermigrasi ke tempat baru punya peran penting dalam menghasilkan makanan baru. Ada yang otentik, ada yang menyesuaikan cita rasa tempatan. Bumbu, material, metode, dan alat, saling berhubungan.


Bagaimana ceritanya resep stew di Persia ada benang merahnya dengan stew Mongolia, Meksiko, dan India ?  Safron, pistachio, dan kismis yang melimpah di Iran, bertemu dengan garam masala di India. Bunga lawang, yang ketemunya di rendang, ternyata jadi elemen bumbu five star spices China. Jintan, yang banyak di olahan daging Asia, ternyata dipakai untuk bumbu masakan Meksiko. Begitu indahnya ramuan rempah dan herba bertemu dalam belanga, menghasilkan perbedaan rasa di satu sudut dunia ke sudut lainnya.

Dari sini aroma dan rasa diracik

Ini juga yang membuat lidah saya yang terbiasa dengan pedas asin asam, megap-megap ketemu rasa manis, lalu tercebur ke gurih aromatik herb. Saya yang kenalnya kemangi dan sereh tiba-tiba berkenalan dengan oregano, thyme, dan rosemary.


Kayumanis yang terasa kuat dalam masakan banjar, tiba-tiba jadi bumbu kue yang enak. Hanya merica dan lemon, yang tampaknya jadi bumbu standar yang jamak dipakai di segala benua dalam aneka  kecenderungan rasa.

Ada kalanya kami mencoba mendomestifikasi resep, namun beberapa tidak menampilkan yang diharapkan. Aroma smokey paprika itu beda dengan cabe gendot yang hanguskan. Serpihan gochugaru menghasilkan warna dan rasa berbeda dengan cabe lokal. Intensitas lemon lokal dan jeruk nipis itu berbeda dengan lemon impor. Dan, sejumput taburan permessan itu memberi rasa ajaib di spanakopita bayam !

Proses Memasak itu Nggak Instan
Ibu, yang menghindari makanan berpengawet, bermicin, pewarna dll membuat kami lebih jeli memilih bahan baku.  Ya, saat ke toko bahan kue atau supermarket, kami jadi lebih memperhatikan ingredients. Ternyata banyak bahan yang menggunakan pengawet dkk. Dan rupanya, harga  bisa lebih murah bila menggunakan pengawet, perasa sintetis, pewarna, dll. Sementara sebagai pembuat kue, harga bahan baku akan mempengaruhi harga produk, bukan?

Mmm….jadi, kami melewati proses yang panjang untuk menghasilkan hidangan yang proper dan sehat, yang tentunya bisa dinikmati ibu. Plus rasanya bikin tercengang. Contohnya : saus lasagna dari tomat asli.

Takceritakan ya… Proses pembuatan saus tomat memang panjang, butuh kesabaran dan stamina. Mulai dari pemilihan bahan, musti tomat yang merah tebal, lalu merendam di baking soda untuk melepas pestisida dll yang nempel kala perawatan tanaman. Lalu dicuci bersih, direbus di panci besar. Tomat-tomat pun didinginkan, setelahnya dikupas, dipilah, diblender, diimasak, dibumbui. Duh ini bukan industri lho ya, ini usaha rumahan aja. Tapi hati tenang dan rasa nendang. Ini worthed !

Perihal Alat Masak
Baru saya pahami bahwa alat masak berpengaruh pada proses dan kualitas masakan. Ya, ibu menghindari alat masak berbahan alumunium dan teflon dengan alasan kesehatan. Dan untunglah, alat masak kakak dari stainless. Poin utama menggunakan stainless steel (utamanya SUS 304 atau 340) adalah aman untuk kesehatan, tidak bereaksi terhadap asam dan non toxic. Selain itu, alat masak stainless ini lebih tahan panas, cenderung stabil, dan hasil masakan lebih memuaskan.

“Wah, sudah seperti chef sungguhan,” kata ibu. Saucepan dan panci aneka ukuran dari stainless steel pun nangkring di dapur. Ini juga berlaku untuk loyang. Loyang alumunium di pasaran tersedia aneka ukuran dengan harga terjangkau, ada juga yang teflon. Namun dengan berbagai pertimbangan, kakak memilih loyang keramik. Syukurlah, ada yang buat, meski dengan harga berkali lipat.

Berteman dengan Kurir dan Marketplace
Sebagai garda depan pengiriman produk, kami berteman dengan kurir ojek online. Mereka berjuang menerobos jalan dalam  hujan dan panas, dengan ongkos naik turun sesuai orderan. Ada yang mas-mas, bapak setengah baya, atau mbak-mbak. Ada yang motornya baru, ada juga yang bunyi-bunyi.  Doa tulus kami untuk para driver ojol, semoga banyak dapat order dan sehat selalu. Untuk pengiriman luar kota, kami gunakan jasa ekspedisi yang sehari sampai dan mampu handling barang. Maklum ini makanan cantik, tak bisa kena goncangan dan musti tepat waktu.

Lalu belanjanya di mana? Ketika barang tidak ditemukan di satu toko, umumnya kita pindah ke toko lain. Nah, karena zaman berubah, kami jadi sering buka marketplace. Ajaib… bahan dan alat perkuean yang susah didapat offline, ternyata tersebar online dengan kualitas yang bisa dilihat di review konsumen.

Transaksi online ini sangat sangat membantu di situasi dimana kita ingin kerja dengan efektif tanpa perlu keluar rumah yang takes time dengan segala protokolnya. Beli cetakan kue di Surabaya, kismis di Jakarta, tanpa perlu ke sana. Beli kardus dan alas kue di Bogor, dengan kualitas dan harga lebih baik daripada toko online di Jogja. Barang langsung dikirim. Bisa komunikasi dan komen pula. Efektif dan efisien.

Sungguh, corona ini di sisi ini, benar-benar menjadi awalan baru. Kebersamaan baru dalam keluarga, juga membentuk pola hidup baru yang tidak kami pikirkan dan rencanakan sebelumnya. Izinkan kami untuk berusaha, berbenah, dan berkembang di masa corona, Ya Allah..

Pengen tahu hasil karya kakak ? bisa diintip di @arundyaskitchen. Itu tanpa msg, pengawet, bahan kalengan, dan less sugar. Sausnya homemade. Terigu ? iya. Jadi belum bisa menjawab untuk yang alergi gluten. Keju ? pakai. Butter ? pasti. Tapi dont worry, bahan-bahannya lumayan premium, bukan hanya karena pengaruh di rasa, tapi juga di kesehatan.