Jejak 3G dan Etnografi (part 5)

Masih ingat misi 3G = Gold, Glory, Gospel, Belanda ? Pelajaran SMP ini. Nah 3G ini ada kaitannya dengan bahasan kita. Gold = emas, misinya untuk menemukan kekayaan rempah-rempah, perkebunan teh, kopi, dll. Glory = kejayaan, misinya untuk mendapatkan daerah jajahan. Gospel = gereja, misinya untuk menyebarkan agama kristiani.

Stigma Asia (timur jauh) yang eksotis, kaya hasil bumi, dan lokasi yang menantang, membuat bangsa Eropa berebut kuasa mencari jalur dan mengeksplorasi nusantara. Gold dan glory sudah terbukti lewat penjajahan dan perdagangan rempah-rempah, 350 tahun. Kalau Gospel ? Nah ini yang menarik.

Tahukah anda, catatan tentang Poso dimulai oleh Albertus Christiaan Kruyt dan Nicolaus Adriani, 1896. Kruyt adalah misionaris Zending yang mempelajari masyarakat dengan metode etnografi. Adriani, utusan dari Nederlands Bijbelgenootschap atau Lembaga Alkitab Belanda, adalah ahli bahasa yang mempelajari bahasa lokal Toraja-Poso.

Kolaborasi Kruyt dan Adriani menghasilkan buku ‘De Bare’e sprekende Toradja van Midden Celebes” (The Bare’e Speaking Toraja from Central Sulawesi), 3 jilid. Waw banget ya! Pilihan untuk menginjil di dataran tinggi penganut animisme dinamisme ini menurut Adriani beralasan untuk menghindari konflik dengan Kerajaan islam Luwu, Sigi dan Tojo yang saat itu ‘mengusai’ Poso.

Adapula Antonie Aris Van de Loosdrecht, misionaris Zending yang membuka sekolah pertama di Toraja, 1913. (Nggak kebetulan banyak orang Toraja yang bernama Aris 😀). Nah bersama Adriani, Van de Loosdrecht membuat buku “Late Soera’ Dinii Melada’ Mbasa Soera’”, sebuah buku bacaan sekolah berbahasa Toraja. Keren ya.

Selain itu ada HC Raven, etnograf Amerika yang melakukan ekspedisi Sulawesi melacak megalitik Behoa, Bada dan Napu pada 1917. Dia memotret artefak megalitik dan menuliskannya dalam buku “The Stone Images and Vats of Central Celebes”. Raven mencatat bahwa temuan kalamba di Pokekea ini mirip “plaine des Jarres/plain of jars” di lembah Tran Ninh, Laos, Indo-China. Dia juga mencatat bahwa ciri fisik dan kebiasaan orang Laos mirip dengan Toraja dan Dayak. (Ingat kan, Toraja dan Dayak adalah penerus Proto Melayu/Melayu Tua). So it is connected…nyambung ! 👏

images (2)

Plain of jars, Laos. Sumber : Nomadasaurus.com

 

Adalagi Walter Kaudern, etnograf Swedia yang menulis penelitiannya berjudul “Ethnographical studies in Celebes: Results of the author’s expedition to Celebes, 1917-1920 – Megalithic Finds in Central Celebes,” vol 5. Buku yang terbit 1938 ini memuat 15 peta dan 77 sketsa megalitik Napu dan memadukan penelitian Kruyt dan Raven sebelumnya. Komplet.

Lalu ada James Woodward 1918 yang diutus Bala Keselamatan/BK(Salvation Army). Fyi BK saat ini memiliki rumah sakit yang cukup besar di Palu, namanya RS Woodward (BK).

So, dari para penyebar misi 3G sekaligus penelitian etnografi di awal 1900, kristiani menyebar di Sulawesi. Mereka turut berperan meletakkan dasar pendidikan dan tatanan sosial masyarakat hingga kini. Dan dari budaya meneliti dan menulis yang mereka lakukan, kita jadi tahu catatan mula sejarah kita, termasuk peninggalan megalitik lembah Napu.

2017-03-31 07.35.57

Kiri : sketsa Kaudern tentang aneka rupa kalamba 1918. Kanan : kalamba 2017

Tiba-tiba saya melihat benang merah sejarah kita. Ya, ternyata budaya meneliti, eksplorasi, budaya menulis itu sudah diawali oleh etnograf bule di nusantara lewat penetrasi misi 3G jauh di masa kita masih berperang suku dan perang melawan Belanda. Terjawablah penasaran saya mengapa beberapa kali ketemu bule backpacker di tanjakan Tentena, 3 tahun yll. Mereka sudah melakukannya sejak tahun 1900. Jadi kita (saya) ngapain aja… foto-foto doang ? Ah, kenapa saya tidak banyak belajar arkeologi sih.. 😓

2017-03-31 07.32.15

Atas dan kiri bawah : catatan Kaudern di Pokekea 1918. Kanan bawah : Pokekea kini plus pelancong 2017.

The adventure is the journey itself

Matahari makin ke barat. Tanda kami harus pulang. Belum puas memang untuk menelusuri lembah megalitik ini, tapi medan menantang tak lucu jika dilalui saat hari gelap. Jadi malu sama Adriani, Kruyt, Raven, dan Kaudern. Mereka menjelajah dari Eropa dan Amerika naik kapal melintasi Atlantik dan samudra Hindia, dengan apapun misi kedatangannya, lalu mencatat tata kehidupan di Sulawesi Tengah termasuk penemuan megalitik, dan jadi referensi hingga kini, sementara saya cuma mampir semenit. Ngakunya touring pula.. uh..

Bayangpun kondisi sulawesi seabad lalu saat para etnograf itu masuk ke Poso dan Toraja. Sampai kini pun masih banyak hutan rimba. Kepercayaan Animisme dan dinamisme kuat, dan ada ancaman perang suku. Suvival dan in the middle of nowhere deh mereka. Lalu bagaimana 3000 tahun yll, saat para Austronesia yang perkasa menaklukkan Suĺawesi dan membuat karya megalitiknya sebelum melanjutkan migrasi. Waw. It  happen right here, in front of us…

Saya menoleh pada Putra, anak blasteran Napu-Jawa Timur yang lincah berlarian di antara kalamba. Di generasinya mendatang, apakah dia mengetahui sejarah leluhurnya ? Akankah dia dan generasinya nanti tetap mencintai peninggalan bersejarah di tanah kelahirannya ?

Saya berharap semoga sedikit catatan tentang Lore ini membuat kita menghargai sejarah negri ini ya. Semoga juga muncul arkeolog dan etnografer Lore, para pecinta dan ‘pelestari’ kebudayaan…amiin..

Ya, keasyikan perjalanan itu bukan hanya pada apa yang kita temui di tempat tujuan, tapi pada perjalanan dan pada misteri yang ada di baliknya. “The adventure is the journey itself.”

IMG-20170310-WA0028

Next adventure ?

(Bersambung)

Referensi :
– Kaudern, Walter. 1938. Ethnographical studies in Celebes: Results of the author’s expedition to Celebes 1917–20,
vol. 5: Megalithic finds in Central Celebes. Göteborg: Elanders Boktryckeri Aktiebolag.
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbgorontalo/
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tradisi_megalitik
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Eksplorasi_Sulawesi_Tengah
– ahmadsamantho.wordpress.com/2013/01/04/budaya-megalitikum-di-indonesia
http://dhoni-ds.blogspot.co.id/2011/12/hasil-kebudayaan-megalitikum-dan-budaya.
http://lokaltuban.blogspot.co.id/p/pengertian-megalitikum-dan-persebaran
http://kisahasalusul.blogspot.com/2015/03/asal-usul-nenek-moyang-bangsa-indonesia.
http://catatanposo.blogspot.co.id/2007/12/seratus-arca-megalith-poso-dicuri
http://rizkyattyullah.blogdetik.com/2013/12/07/situs-megalitikum-terluas-
– kompas Maret 2016. Situs megalitik lembah lore rentan pencurian

* Sketsa gambar dan foto-foto lama diambil dari  Walter Kaudern, Ethnographical studies in Celebes: Results of the author’s expedition to Celebes, 1917-1920 – Megalithic Finds in Central Celebes,” vol 5.

Artefak Tanpa Suara ( part 3)

Kami melanjutkan perjalanan. Jalan menuju cagar budaya yang kami tuju  melalui rumah penduduk, sawah, dan kebun. Tampak ayam-ayam berjalan santai di sawah. Seekor babi hutan hitam yang gemuk dirantai dan tengah menikmati makan sorenya, daun-daun nan lezat. 😋 Setelah parkir kendaraan, kami berjalan kaki sekitar 500 meter. Dan akhirnya tampak papan nama besar, Cagar budaya Pokekea. Kami melonjak girang.

Tiada pagar besi,  namun cagar budaya ini dipagari perbukitan anggun dan prairie. Tak ada tiket masuk. Sore itu pun kami tidak bertemu petugas/penjaga. Mungkin ini juga yang menyebabkan artefak di sini rentan pencurian. Siapa pun bisa bebas keluar masuk situs.

Lihatlah… batu-batu berbentuk tempayan raksasa atau disebut kalamba, berserak di tanah. Awesome! Gedhe banget. Kalamba-kalamba ini berdiri lepas dikelilingi prairie dan perbukitan. Cantik sekali….

IMG-20170310-WA0022

Hamparan kalamba di Pokekea

Penutup kalamba tergeletak di tanah, beberapa terbenam miring. Kalamba sendiri berdinding polos. Sementara tutupnya (tuatena) dihiasi ukiran menonjol, ada yang tampaknya berbentuk hewan, ada juga yang menyerupai bayi merangkak dengan posisi bervariasi.

2017-03-22 17.00.53

Relief di tutup kalamba

Kami mendekati kalamba yang masih utuh. Tempat ini menampung air hujan. Di bibir kalamba, ada ceruk seperti tempat sabun (atau tempat persembahan). Oiya, kalamba artinya perahu arwah, so kemungkinan artefak ini berhubungan dengan kematian, bukan tempat air ya. 😰

Beberapa kalamba terbelah. Lumut-lumut tinggal di dindingnya. Konon lumut ini harus dibersihkan dengan cairan khusus dan disikat pelan karena lumut yang dibiarkan akan merusak relief. Special treatment pokoknya.

2017-03-22 08.18.12

Mungkin dia lelah diterpa cuaca

Tak jauh dari Kalamba ada 2 patung batu duduk berdampingan. Cekungan tipis membentuk alis menyatu lurus ke bawah membentuk hidung di wajahnya. Dua noktah terbingkai alis dan hidung membentuk dua mata. Patung yang lebih besar, ditandai dengan garis tipis mulut di bawah hidung. Sang patung berasal dari batu yang lempeng kotak. Tangannya nyaris tak tampak. Di belakangnya ada patung serupa yang menyendiri namun batunya lebih hitam.

Tak jauh dari 3 patung ini ada kalamba yang menyerupai pot dengan ukiran wajah seirama rupa sepasang patung tadi. Somehow ukiran wajah ini mengingatkan saya pada rupa owl burung hantu.

2017-03-22 08.03.53

Patung-patung di Pokekea

Saya berharap menjumpai tengaran/papan petunjuk informasi atau selebaran, atau   pusat informasi sejarah yang menjelaskan tentang situs megalitik di sini, di Napu ini sehingga kami bisa memahami benda-benda apakah di hadapan kami ini. Sayang sekali belum ada. 😟 Mustinya memang saya browsing dulu supaya ada referensi sebelum ke sini. Akhirnya kami sibuk mengelilingi Pokekea dan takjub dengan apa yang ada di depan mata.

IMG-20170310-WA0038

The team

Hmm… Siapakah pemilik kisah historis megalitik ini? ……
(bersambung)

Pic : dokumen pribadi, menggunakan smartphone alakadarnya by Hani, Aris, Ophiq, Nel, and Ikwan

 

KBBI – Kamus Besar Bahasa Indonesia
ar·te·fak : 1 benda-benda, spt alat, perhiasan yg menunjukkan kecakapan kerja manusia (terutama pd zaman dahulu) yg ditemukan melalui penggalian arkeologi;
2 benda (barang-barang) hasil kecerdasan manusia, spt perkakas, senjata

ca·gar: daerah perlindungan untuk melestarikan tumbuh-tumbuhan, binatang, dsb; lindungan;
—  budaya : daerah yg kelestarian hidup masyarakat dan peri kehidupannya dilindungi oleh undang-undang dr bahaya kepunahan

re·li·ef : 1 pahatan yg menampilkan perbedaan bentuk dan gambar dr permukaan rata di sekitarnya; 2 gambar timbul (pd candi dsb)

Freezer raksasa dan misteri Tadulako (Part 2)

Hijaunya bukit, kuningnya prairie, silih berganti mengisi pupil mata.  Bibir pun mendesah, Subhanallah. Celebes ini begitu indah. Apa saja bentang alam ada, dari bukit sampai pantai, banyak dan cantik-cantik. Pokoknya, ayo ke Sulawesi Tengah ! Pemandangan ini mengingatkan pada gunung-gunung Taripa Tomata yang dilalui jalur Parigi Moutong- Poso – Tentena. Atau mungkin sebenarnya ini berangkaian ya? Haha..baru sadar saya, kan termasuk kabupaten Poso juga. 😅

Lembah Napu tampaknya sejak lama menjadi lahan gembala misionaris. Di kanan kiri mudah kami jumpai gereja. Penduduknya pun rajin ibadah. Pusat daerah ditandai dengan hadirnya kantor dan  fasilitas umum di tepi jalan. Kalau di Jawa, yang begini tidak tampak karena terlanjur padat. Cobalah ke sini, dan anda akan jumpai kantor desa, tempat ibadah, sekolah, lapangan olahraga, puskesmas, dan pasar berjejeran di pinggir jalan.

Akhirnya kami mendekati pemukiman. Deretan pagar bambu bercat merah putih  tampak berjajar rapi di pinggir jalan. Bunga bawang warna putih tumbuh di depan pagar, menambah kesan keteraturan. Jam 12 kami sampai di rumah keluarga local guide kami  di Lore Tengah.

Gemah Ripah Loh Jinawi
Kesan pertama, Waw…. ini daerah pertanian yang subur ! Ada pohon kakao berjejer,  sawah menghijau, sayur mayur, kunyit, pandan, labu, lombok, dkk. Di seberang rumah bahkan ada pohon kemiri berdiri besar. Di kampung ini tanaman pangan dan sayuran  tidak diberi pupuk kimia. Sehat ya !

Yang perlu diimpor adalah bawang putih. Itu pun karena kurang berhasil di tanam. Tete’ (kakek/nenek) juga pelihara unggas di belakang rumah. Ini adalah wujud ketahanan pangan dan pertanian subsisten. Rumah tangga dan desa mampu mencukupi kebutuhan pangan sendiri. Satu yang tidak dipelihara namun ikut nimbrung : nyamuk. Ya, nyamuknya dahsyat. Pasang kelambu di sini. Gimana para teroris di hutan itu ya? Lho kok malah nanya…😅

Anjing menjadi penjaga kebun. Jika ada orang tak dikenal, si anjing akan menyalak. Ini penting sekali karena di belakang sana adalah bukit tempat Santoso cs bersembunyi. Kalau ada pakaian yang hilang dari jemuran, atau ayam yang hilang, ya kira-kiralah. Para gerilyawan di hutan itu juga butuh makan. Saat gencar operasi Tinombala, aparat banyak berjaga di sekitar sini.

Brrr…langsung terasa dinginnya air saat kami membasuh muka. Air yang segar, dingin, dan melimpah. Kami langsung tebak-tebakan, siapa yang berani mandi dengan udara sedingin ini nanti sore 😁. Di balik bukit sana adalah hulu sungai Lariang, sungai yang mengalir melalui Pasangkayu Sulawesi Barat (5 jam dari sini). Sungai Lariang di Pasangkayu terkenal karena dalam, lebar dan panjang serta ada buayanya.wedew.. Ternyata hulunya ada di sini. Hulu Lariang juga manjadi tempat hidup sogili, belut jumbo khas Poso. Ternyata sungai ini jadi habitat aneka makhluk hidup. Konservasi di hulunya penting sekali untuk menjaga kelestariannya.

Authentic Recipe
Segera saja, segelas kopi dan camilan kacang sangrai menghangatkan siang kami. Menurut tuan rumah, kopi ini disangrai dan ditumbuk sendiri. Sruputt. Saya bukan penikmat kopi, tapi bisa menghargai segarnya kopi di sini. Kehangatan menyebar ke tubuh sementara di luar, titik-titik air masih menetes dari langit.

Tete’ memanggil kami untuk makan siang. Menunya woku ikan mas. Ikannya sebesar lengan orang dewasa, katanya itu ukuran  lazim ikan mas di sini. Cukup tinggalkan kail di sungai Lariang dan tengok esok hari. Tidak ada yang akan ambil pancing yang ditaruh jika bukan miliknya. Sebuah kejujuran dan kearifan lokal, bukan ? Kalau beruntung, Tete’ akan membawa pulang ikan mas jumbo. Umpannya adalah ulat aren, cacing, atau usus ayam. Terbayang ikan mas piyik-piyik yang terjejer kuyu di pasar SP 1. Ini pasti beda !

Wah… kelembutan daging ikan mas berpadu dengan kesegaran kuah ikan yang tidak amis dan tidak asam sama sekali. 😋 Kali ini suami tidak berani makan kepala ikan, saking besarnya si kepala ikan mas. Tete’ juga menghidangkan sogili, si belut besar yang disambal. Sogili ini juga kaya protein.  Pantas orang-orang sehat dan kuat ya..

Woku artinya (ikan) dimasak kuah dengan aneka daun rempah. Authentic dish of celebes. Ada jahe, kunyit, daun jeruk, sereh, daun pandan, kemiri, selain bawang merah dan putih. Untuk menambah rasa, ada lombok dan kemangi juga. Kalau versi gorontalo ditambah daun mint, kata tetangga gorontalo saya. Bumbu-bumbu ini jadi semacam bumbu wajib bagi masakan di sini.

Sepertinya, rahasia memasak woku adalah kesegaran ikan dan tentu saja ‘tangan dingin’ sang koki. Ikan yang masuk freezer tak bisa selezat ini jika diwoku. Toh tidak butuh freezer ya,  karena air dan udaranya menyerupai freezer raksasa. Selain itu juga penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar menambah kelezatan masakan. Terima kasih hidangannya Tete.’ 😋

2017-03-16 14.03.24

Gemah ripah loh jinawi. Lemon lokal dan kemiri berkulit yang baru sekali saya lihat

Namanya aja touring
Lepas dhuhur dan makan siang, kami lanjutkan misi : menuju lembah megalitik. Mr. Ophiq sempat membantu tuan rumah menyembelih entog, calon menu selanjutnya! 😀

Oke let’s go! Cuaca mulai cerah. Jalanan berubah menjadi rusak, berkubang, dan becek sehabis hujan. Saya kebat kebit karena kiri jalan adalah jurang yang tertutup pepohonan, dan di kanan, jalan rusak atau berkubang. Adrenalin meningkat ! Untung Mr Ikwan di sebelah cukup tangkas mengemudi. Bermotor, suami dan partner touringnya sempat tersendat di jalan rusak. Untunglah tidak perlu ditarik pakai tali.

Terkadang jalan mengecil dan tak tampak kendaraan dari arah berlawanan. Sempit sekali. Lampu dan klakson jangan dilupa. Sekali dua kami berpapasan dengan mobil. Itu pun diisi bule. Hm..apa yang dilakukan bule itu di ujung dunia ini? Mungkinkah mereka peneliti, arkeolog, kolektor, misionaris, atau turis? Ah, kok pikirannya begini.

Sepupu Nel berkata kalau akan menyiapkan Porseni di desa sebelah. Lapangan tempat olah raga di desa Bariri itu baru saja kami lalui. Apa? anak sekolah, naik mobil terbuka, jalanan rusak, licin, becek hujan?.. waw…all risk.. tapi  mungkin saja warga lokal sudah terbiasa sehingga jalan rusak bukan lagi hambatan.

Misteri Megalitik Tadulako
4×4 wd memang tangguh melewati medan ini. Akhirnya kami sampai di mulut jalan situs. Agak kurang meyakinkan jalannya. Setelah memarkir kendaraan, kami berjalan kaki ke lokasi, melewati sawah dan ilalang. Cagar budaya Tadulako. Kami bersemangat, penasaran karena tadulako menjadi nama universitas negri di Palu. Di depan, rumah adat Lore menyambut kami. Singup. Sepi. Rumah panggung dari kayu ini atapnya runcing  segitiga yang diisi semacam daun kering di bawah atap dan ijuk sebagai atapnya.

2017-03-15 14.34.26

Kami berjalan lagi, agak naik, lumayan setengah km saja. Tada…… clingak clinguk. Kosong. Gone!  Disappear! Tadulako tidak ada !  Ziing… Pengunjung bingung…
Konon dulu di sini ada patung batu Tadulako, salah satu legenda menyebutkan kalau beliau adalah panglima perang yang dikutuk jadi batu. Mustinya ada 2 arca, kalamba, meja altar dan peninggalan megalitik lain di sana. Tapi kini yang tersisa hanya batu yang tampaknya berfungsi sebagai alas artefak. Oh….Ke manakah benda bersejarah itu, kami bertanya-tanya. Tanya pada siapa ?

Ternyata sejarah kelam mencatat pencurian arca-arca megalitik di Napu. Berdasar penelitian, ada 404 peninggalan megalitik namun jumlahnya bisa dipastikan berkurang. Mereka diselundupkan ke luar negeri lewat Bali. Beberapa yang tertangkap dikembalikan dan diletakkan ke Museum Palu.

Entah ada berapa yang tak tertangkap dan mungkin berada di ruang kolektor barang antik. Sebagai contoh saja, sang Tadulako, arca megalitik setinggi 2 meter dengan lebar 75cm ini tidak di tempatnya. Sementara arca satunya yang berposisi rebah, berdiameter 125cm. Terbayang beratnya kan. Bagaimana caranya ? Kami terus berdiskusi. Benak saya mengingat bahasan NatGeo tentang mata rantai penyelundupan gading afrika. Pilu. Kalau sudah begini, pasti ada banyak pihak terlibat, dari dalam, penadah, penjual, mungkin rumah lelang, kolektor, atau museum luar negeri, atau mungkin juga oknum aparat?

Nel cerita kalau dulu jaman dia kecil, orang sering temukan piring-piring batu di sekitar situs. Karena tidak tahu, ya diberikan saja sama bule-bule yang datang.😰 Wah, andai kita tahu, itu sumber untuk mencari tahu sejarah leluhur kita.

Kabarnya hilangnya megalitik Napu ini makin meningkat saat terjadi kerusuhan Poso..hmm…suspicious. Jangan-jangan kerusuhan yang mengerikan itu turut dikompori pencurian arca megalitik ?😕 wah ini analisis baru, selain masalah ekonomi, politis, dan agama. Selain itu, lembah ini menjadi arena perburuan teroris. Banyaknya orang datang ternyata juga membawa ancaman…..

(bersambung)

Perjalanan Menuju Masa Megalitik

Ayo ke Napu
(Part 1)

Last chance merambah indahnya bumi Celebes, pilihan kami jatuhkan ke lembah napu. Mengapa? Konon ada peninggalan megalitik yang menakjubkan di sini. So mari ki berpetualang…

Suami memilih touring bermotor dengan partnernya, Mr Ophiq, tetangga sebelah. Saya bersama orang asli Napu (baca: local guide) Nel sekeluarga naik roda empat. Waktu tempuh kurang lebih 3 jam dari Palu. Transportasi lebih cocok dengan kendaraan pribadi atau rental karena kendaraan umum terbatas. Jalur hari ini adalah Palu- Sigi Biromaru – Palolo -Dongi-Dongi terus sampai Napu. Don’t worry, jalannya hanya satu. Jalur Napu ini merupakan jalur alternatif ke Morowali saat jembatan Parigi putus. Orang-orang pada ngeri kalau lewat sini..apa iya sih?

Lore Lindu
Pritt…. Pemberhentian pertama, Danau Tambing. Tiket masuk 5.000 rupiah untuk pengunjung umum (dan 2.500 untuk pelajar atau rombongan) sudah di tangan. Anggrek tanah berbunga indah menyambut kedatangan kami yang sumringah. Hawa sejuk mulai terasa !

Danau Tambing merupakan danau jernih seluas 6 ha di kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Sekelilingnya dimanfaatkan jadi  camping ground. Tenda-tenda mungil bertebaran menandakan adanya perkemahan. Ada yang lagi keakraban dan outbond juga.

Mata kami tertumbuk pada Orchidarium. Anggrek ! 😍 Ada 45 spesies anggrek lho di taman nasional ini. Ada yang tumbuh di batang, cabang pohon, maupun di tanah. Paku-pakuan menjadi tempat hidup anggrek yang ditangkarkan di pot. Ada yang kembangnya hijau, ada putih mungil bergerombol , juga anggrek mini yang susah dipotret (saking mininya).  Sayang sang primadona anggrek hitam sulawesi belum mekar.

Edelweis si bunga putih pegunungan juga tumbuh mengiringi jalan setapak. Ini kan bunga gunung. Pantasan, kita kan di ketinggian 1700 dpl! Ada juga, pohon tinggi yang kulitnya berwarna warni dan berubah warna pada saat tertentu.

2017-03-15 14.21.50

Anggrek-anggrek eksotis Sulawesi

Taman Nasional Lore Lindu merupakan zona yang tepat untuk bird watching alias nongkrongin burung. Konon ada 263 jenis burung yang ada di sini, 30%nya endemik sulawesi. Namun yang namanya bird watching, kita membutuhkan waktu untuk menanti Bondol Rawa, Alo, ataupun Elang Sulawesi menampakkan diri dan mengeluarkan siulannya. Nabil, ponakan di Jakarta exited banget saat tahu kami ke Lore Lindu. Aduh maaf nak, burungnya nggak kelihatan. Tante mustinya kemping bawa teropong ke sini ya biar ketemu Alo.

2017-03-16 18.04.44

Sticker Taman Nasional Lore Lindu punya Nabil

 

Lukisan Ilahi
Perjalanan berlanjut. Jalanan aspal  berkelok, kadang lurus, membuat pengendara harus konsentrasi. Di kanan kiri pohon-pohon besar membentengi. Ada satu ruas jalan dimana pernah terjadi kecelakaan mobil tentara. So better watchout !

Jalan depan dipalang. Oow.. Ada pos penjagaan. Kendaraan yang lewat diperiksa. Mungkin ini karena Santoso cs bersembunyi di bukit-bukit Napu. Saya pun membuka kaca jendela. Pak penjaga memperhatikan tampang penumpang dan menanyakan tujuan. Aman. Semoga saja nanti kami tidak ketemu Santoso cs..itu saja doanya.

Sekejap, pemandangan berubah menjadi taman-taman kol dan sayur teratur di lembah bukit. Jika mbak sayur di Mamuju Utara bilang, “Ini wortel dari Palu..” mungkin dari Napu ini asalnya ya.  Waw. Panjang sekali distribusi sayuran. Ongkos kirim beras sekarung dari rumah Nel ke Palu saja 50.000. Wah, berapa ya keuntungan sang petani ? Keningku ikut berkerut.

Lanjut, pemandangan beralih ke deretan prairie. Well, menurut suami Nel, Mr Ikwan, konon di daerah Napu dulu ada rencana perkebunan teh atau Napu Hai (cmiiw). Lalu berubah menjadi perkebunan singkong untuk dibuat tapioka. Namun tampaknya proyek ini kurang berhasil dan kini padang singkong ditumbuhi prairie yang…. indah banget…😍 dan kesannya misterius gitu… Ingat film ‘Little house on the prairie’ kah? Nah kayak gitu itu pemandangannya…

(bersambung)

2017-03-16 14.34.18

The trip to Napu

Si givi


Si givi adalah teman baru kami yang menyertai kebo megapro. Mengingat kami lebih sering motoran daripada mobil (memang gak punya mobil :), suami ngincer box untuk dipasang di kebo megapronya. Tujuannya saat kami bepergian dan beli sesuatu, tak perlu repot ngetheng-ngetheng hingga tangan terjerat kresek. Secara, tempat baru kami tinggal ini lumayan jauh ke mana-mana dan sekalinya keluar, belanjanya sekalian. Setelah browsing perihal box yang bisa dipasang di motor, berdiskusi tentang mana baiknya dan tepat untuk medan jelajah yang panjang, kami setuju : cari box yang bisa dipasang di samping kanan-kiri motor.
Cari di mana ? di Palu ? di Makassar? Wah, ke mana ya? Ternyata Tuhan berkehendak, suami musti melawat belajar ke PangkalanBun, Kalteng. Artinya.. dheng dheng dheng…. ada kesempatan menginjak Jawa lagi karena pesawat musti transit di Surabaya. Jadilah, kesempatan transit Surabaya digunakan untuk cari box motor. Dan voila ! terpasanglah si givi di kebo megapro, tampak kokoh mengangkut barang 6 kg.
Tinggal jauh membuat kami memilih barang yang kuat dan bandel, tahan banting, tahan lama, meski konsekuensinya ada pada harga. Si givi ini terbukti tangguh dan berjasa besar mengangkut buku, tinta printer, mantol, susu dancow, sampai cobek batu. Barang-barang tetap aman (insya Allah) meski kami parkir motor dan masuk pasar. Di tempat domisili sekarang, si givi jadi tempat belanja, mulai dari ikan, tahu, sayur, anggrek dan potnya (ya iyalah), wajan kecil, sampai keset rumah. Si empunya givi yang jago repacking, anak pramuka dan pecinta alam sih (hehe).
Trus, gimana caranya supaya itu ikan aman tersimpan di givi? Setiap kali belanja, saya selalu bawa tempat, mulai dari kresek, toples hadiah, sampai tupperware. Masukkan ikan, tahu, atau sayuran dalam kotak tupperware, s etelahnya, alasi dengan kresek yang besar. insya Allah aman sampai tujuan (masih ada lomba foto tupperware gak ya :D).
Ada juga pengalaman nahas si givi. Saat perjalanan dari Morowali-Palu, tepatnya di Parigi, suami ditubruk sapi.. (apa? Ditubruk sapi ? gimana ceritanya?). Saat itu jam 17.30, ada sapi menyeberang. Suami pelan kasih jalan si sapi. Selang 10 meter setelahnya, tiba-tiba ada sapi lain yang keluar dari semak dan berlari menyusul teman-temannya, nyundul bagian belakang kebo megapro, yang tak lain tempat si givi nangkring. Kerasnya tubrukan membuat tutup si givi terbuka, dan tas di dalamnya terlempar. Si sapi puyeng, suami pun berusaha mempertahankan keseimbangan di atas kebo megapro. It’s fine ! nah akibatnya si givi kehilangan ornamen hiasan di badannya deh(strip line).. Orang-orang pun menanyakan kondisi suami yang tertubruk sapi..hihi…dont’ worry, be happy…
Di perjalanan lainnya, karena kecepatan agak tinggi, dan kelupaan mengunci box, tutup si givi kiri terbuka dan terbanglah raincoat merah Rei yang belum berumur sebulan. Pernah juga, saat membawa karung arang, ternyata arang-arang itu menggores si givi. Walhasil, coretan hitam arang permanen menghias mulusnya si givi. Si empunya cuma menghela nafas, yah sudahlah, sebagai ingatan bahwa si givi pernah ngangkut sekarung arang, katanya.
Kebo megapro yang dipasangi si givi membuat kami sering diliat orang kalau lagi di jalan. Mungkin di sini tidak familiar ada box seperti itu ya. Kadang dikira motor polisi, kadang dikira penjual ikan (di sini penjual ikan menaruh ikannya di box gabus yang diikat di dudukan motor bagian belakang), kadang juga si givi dibilang sebagai keranjang belanjaan. Yang pasti, si givi jadi teman perjalanan kami yang baik. Terima kasih givi…..

Pelabuhan khusus CPO, Cinoki - Mamuju Utara

Pelabuhan khusus CPO, Cinoki – Mamuju Utara

di Palu

di Palu


Simpang jalan

Simpang jalan

Danau Poso, Jalur Tentena-Pendolo

Danau Poso, Jalur Tentena-Pendolo

di Morowali

di Morowali

over-baggage...?

over-baggage…?

Motoran di Sepotong Trans Sulawesi

Seri perjalanan selanjutnya adalah naik motor. Saya bukan bikers, bukan juga pehobi touring dengan motor-motor besar. Saya pengendara motor biasa. Mendapat SIM saat SMA kelas 2, saat itu ada pengurusan SIM bersama yang diorganisir Menwa kampus besar di Jogja. Lucunya, saat mengerjakan tes tulis, lho kok sudah ada jawabannya ya..hehe..

Well, anyway, saya belajar naik motor saat kelas satu akhir SMA, dengan alasan harus. Bis umum yang lewat sekitar rumah ke sekolah sering datang terlambat, membuat acara masuk pagi di sekolah kerap berakhir dengan keterlambatan. Dan alasannya pula adalah tidak ada yang bisa antar jemput saya. Haha…maka berkendara motor waktu itu bukanlah untuk alasan gagah-gagahan atau gaya hidup yang kini mewabah di kota tercinta, melainkan harus! SMP, saya berangkat sekolah dibonceng kakak saya yang SMA, pulangnya naik bis juga.. Bayangpun, Jogja kini semrawut betul. Anak SD bahkan sudah naik motor.. Motor-motor sliwar sliwer di segala jalan, mulai dari jalan kampung yang penuh polisi tidur dan penanda ‘ngebut benjut’ hingga jalan utama yang kian sesak saja dengan motor yang meringsek hingga celah terkecil.

Nah, menginjakkan kaki di bumi Celebes, dunia berputar. Jalan trans Sulawesi yang kami lalui menghasilkan kesimpulan bahwa saya dan suami tidak cocok bermobil di sini. Kelok-kelok, seindah apapun wajah pantai di seberang jalan membawa para pemobil memacu kendaraan secepatnya. Sepinya jalan turut mendukung kelajuan, yang hanya direm mendadak kala sapi dan kambing bergerombol ‘chit chat’ mengisi jalan, membuat wajah ini pucat dan berharap agar segera sampai di tujuan. Walhasil, kami memutuskan perjalanan antar kota antar propinsi ini ditempuh dengan motor.

Sejak lepas lebaran 2011, tepatnya saat saya mengisi pelajaran di sebuah SD Inpres di sini, saya diwajibkan suami untuk bisa naik megapro. Alasannya sama seperti kala SMA dulu, saya tidak bisa menggantungkan diri pada orang lain untuk antar jemput. Sebetulnya di awal kedatangan di Celebes dulu saya sempat memacu motor kopling ini ke Budong-Budong, sekitar 2 jam perjalanan.  Namun saya belum fasih naik turun persneling dan memainkan kopling, apalagi jalanan naik turun gunung meski aspal halus, dengan beberapa lubang berkubang di sudut-sudut jalan.(Ehm, barusan lewat, ternyata sekarang jalan ke Budong-Budong halus mulusss).

Jadilah, lawatan lalu ke Palu, saya bergantian dengan suami memacu motor. Sebetulnya bukan memacu sih, wong kecepatan maksimal 80km/jam. Ndak berani lebih banter. Sapi, kambing, atau anjing ini lho, yang sering membuat kaget. Yang bisa dilakukan ya klakson mereka beberapa kali untuk minggir. Pergantian persneling masih juga belum mulus, navigator di belakang sering menyenggol memberi tanda bahwa gigi perlu dinaik-turunkan sesuai kondisi jalan.

“Usahakan kecepatan stabil, tidak perlu ganti persneling kalau tidak perlu betul.”

“Kalau lewat jembatan, kecepatan diturunkan dulu, karena pasti ada lonjakan di jembatan.”

“Tiiin…”

“Ayo, lewati truk di depan, jalan lupa sein kanan untuk mendahului.”

“Awas, ada bis dibelakang, jangan terlalu ke tengah.”

“Jangan diulang ya, berbelok sampai melebihi batas jalan itu berbahaya. Kalau ada kendaraan dari arah sebaliknya, bagaimana…”

“Wah, ini pasti kontraktor (jalan) lokal, masak jalan didempul pake batang kelapa dan tanah seperti ini.”

“Awas, jembatan kayu, ikuti mobil depan yang menyeberang.”

Begitulah navigator di belakang yang memberi peringatan dan aba-aba..mungkin juga disertai jengkel karena terantuk lubang di jalan plus khawatir dengan gaya bermotor pengemudinya yang punya reflek lambat.

touring, nice view

So, inilah rute perjalanan itu (kurang lebihnya), berpandu pada papan nama sekolah dan kantor, gapura, atau penanda yang tertera di tepi jalan (http://maps.google.co.id/maps?q=peta+:+sulawesi+barat&um=1&ie=UTF-8&hq=&hnear=0x2d92da2454bb4409:0xea5cbf202f3370f2,Sulawesi+Barat&gl=id&ei=QnAvT6f7FMurrAei58ToDA&sa=X&oi=geocode_result&ct=title&resnum=1&ved=0CCAQ8gEwAA) :

Sarudu SP 2 (jalan berlubang parah, berbahaya, juga jalan tanah berdebu, awas jarak pandang) –Sempo – Doda (ada tikungan berbahaya, banyak orang kongkow di tepi jalan) – Bambaloka (pasar dipindah tidak lagi di tepi jalan) – Baras – Lariang (jembatan bagus, sungai masih lebar dan berjalan) – Kebun sawit utara (jalan buruk,bergelombang karena tanahnya labil, hati-hati) – Tikke (pasar ramai, hati-hati) – Pasangkayu, ibu kota kabupaten (jalan sedang proses pengaspalan, waspada sapi dan kambing melintas. Ada pom bensin untuk jeda sejenak, sayang toiletnya buruk. Ada warung Coto yang enak, warung kecil, dekat perwakilan travel UD Nur) – Mertajaya (kampung Bali, buah-buah segar dijual di tepi jalan) – Bambalamutu – Letawa –Watatu – Banawa Selatan –  Banawa Tengah – Banawa – Donggala (jalan meliuk bukit, view pantai, hati-hati. Di daerah Loli, ada warung Kaledo-kaki lembu donggala, yang terkenal) – Palu Barat – Palu.


Perjalanan kami terjeda dengan makan siang di warung terminal indah di Donggala dengan menu ikan bakar, pepes udang, dan gulai nangka. Segarnya ikan bakar dan udang sungguh terasa hingga kami menikmati gigitan demi gigitan pelan-pelan. Itung-itung, mengikuti gerakan Slow food, makan pelan-pelan, bahan baku diperoleh di daerah sekitar, dan dikelola orang lokal. Sayang tidak ada menu minuman kelapa muda, padahal pohonnya berjejer banyak di tepi jalan. Lokasi warung di pinggir pantai menambah kenyamanan makan siang sepoy-sepoy. Sejajar di tepi pantai, beberapa kapal tertambat dan orang-orang memperbaiki kapal. Kalau naik mobil, tak mungkin saya minum es jeruk, kemungkinan besar adalah teh panas, itupun masakan yang terhidang hanya dicicip sedikit. Ndak kuat perut saya..



kapal tertambat


Lepas dari sana, jalan mulai memasuki daerah perumahan dan kota. Di Donggala, jalan trans Sulawesi melewati rumah-rumah yang berdiri rapat sehingga seperti di perumahan saja. Saya pun kemudian menyerahkan kendali motor pada suami. Kami berhenti di kecamatan Benawa untuk mencari penjual sarung tenun Donggala. Dari referensi yang saya dapat, ada di beberapa desa pengrajin sarung tenun Donggala di Benawa Tengah dan Benawa. Namun karena ini perjalanan panjang, kami langsung ke penjual yang berada di tepi jalan. Pada lawatan sebelumnya, kami sempat berhenti di pengrajin sarung tenun, namun tidak banyak koleksi sarung yang dimiliki karena telah disetor ke penjual di Palu. Maka kini langsung saja kami berhenti dan melihat koleksi sarung tenun Donggala yang warna warni indah di mata.

ATBM sarung tenun donggala

sarung tenun donggala diproduksi

Harga yang ditawarkan lumayan tinggi, hampir sama dengan harga sarung tenun Donggala yang dijual di kota Palu. Sempat tawar menawar, dan tak banyak turun pula harganya. Suami mengingatkan bahwa inilah saatnya memiliki barang khas daerah. Mumpung masing berada di Sulawesi. Belum tahu kapan lagi kami berada di tempat ini. Saya setuju, dan juga berpikir dengan harga tersebut. Tak apalah, asalkan harga sekian yang ditawarkan terdistribusikan pada para penenun sarung yang bersusah payah dengan alat tenun bukan mesinnya, memintal benang hingga menjadi sarung yang indah.

Kami lanjutkan perjalanan bermotor menuju kota Palu. Melihat kota utama propinsi Sulawesi Tengah. Kalau dilihat di peta, propinsi ini sangat eksotis bentuknya, diapit air di kanan kiri, ada Teluk Palu yang menyeruak menawarkan deburan ombak yang makin elok di malam hari. Untuk perjalanan dengan mobil, jarak ditemput dalam waktu 3,5-4 jam (ini badan rasanya terbang dan perut dikocok-kocok). Untuk perjalanan kecepatan 70km/jam, ditempuh dalam waktu 4,5-5 jam. Jadi jarak yang ditempuh berapa, anak-anak ? W=V x t. W=70km/jam x 4,5 jam. W=315 km/jam.

Tujuan kami : toko buku! Lapar mata rasanya ! Sempat juga mendapat koran nasional yang tidak selesai dibaca sehari.. Ah, indahnya… tinggal kaki dan bokong yang pegal-pegal, plus tangan yang stand by di atas stang motor.

Kesimpulan :

  1. Untuk perjalanan jarak jauh seperti ini dengan kendaraan roda dua, lebih enak kita berada di depan. Melihat dan menguasai perjalanan di atas kendaraan bermotor rasanya lebih enak daripada hanya duduk di belakang memasrahkan semuanya pada pengemudi.
  2. Motor berkopling jauh lebih nyaman dikendarai dibanding motor bebek, apalagi matic.
  3. Duduk di belakang biasanya cepat mengantuk, guncangan akibat jalan tidak rata pun lebih terasa. Kalau mengantuk, saya biasanya menyanyi, menghafal asmaul husna, bershalawat, dan lainnya (woh woh ckckck…).. Sementara kalau saya di depan kemudi, isinya lebih banyak menghafal asmaul husna dan bershalawat.. teriak-teriak deh….supaya hati tentram (hahaha).
  4. Gunakan helm yang pas di kepala.
  5. Gunakan kaca mata. Saat pagi dan magrib menjelang ada banyak burung-burung (istilah lokal untuk serangga macam nyamuk yang terbang mendekati cahaya). Burung-burung sering sekali menabrakkan diri di wajah..Berhubung saya memang berkacamata, maka idaman saya adalah kacamata yang bisa berubah warna lensanya mengikuti cuaca…hehe…
  6. Gunakan sun block di wajah dan tangan.
  7. Kenakan masker.
  8. Saya tidak suka pake sarung tangan touring, tapi akibatnya ya tangan makin kelam…hehe…

Selamat touring di daerah…. nikmati indahnya jejeran pohon kelapa, pohon kakao, rumah-rumah kayu yang berdiri di tepi jalan. Jembatan-jembatan yang tak terhitung banyaknya, serta hewan-hewan yang chit chat di tepi jalan. Kalau melewati kampung Bali dan saatnya tepat, lihatlah tempat sembahyang di depan rumah serta janur yang dipasang indah..

kayak orang iran, katanya……..hahaha……