DIY batoki-toki

Do it yourself , bukan Daerah Istimewa Yogyakarta, itu entah bagaimana jadi hobi suami atau saya menyebutnya Mr Handymany.. Udah dari sononya hobi utak utik dan nukang. Bahasa anak-anak di Sulawesi sana : batoki-toki (memukul-mukul). Alat kerjanya dikumpul sedikit demi sedikit. Kami menyebutnya capex – capital expenditure. Sempat tinggal di hutan, jalan licin, dan jauh dari mana-mana jadi alasan untuk melengkapi tools kit. “Biar bisa mbenerin sendiri kalau ada yang rusak,” katanya.

Urusan keran tersumbat dan perpipaan, kalau ada kesempatan, dia akan turun tangan. Pernah juga bikin kolam malam-malam ditemani obat nyamuk. Atau merakit dan melubangi pralon untuk hidroponik. Maka kala new normal ini kami memutuskan cari rumah di pinggiran ibukota, hasratnya untuk nukang makin besar.

Syukurlah ada rumah berhalaman dengan pagar. Kalau di klaster, pasti kami akan kena protes karena sering bikin ribut dengan suara gerinda atau las. Di sinilah suami berkarya. Sering tak puas dengan kerjaan tukang yang membangun rumah, Mr Handymany memilih membetulkan sendiri. Kadang juga kontak pak mandor yang mbangun rumah untuk cek ricek dimana jalur perpipaan, jaringan kabel ini itunya, dll.

So, toko bangunan adalah tempat favoritnya.  Karena situasi new normal ini, maka kebutuhan pertukangan banyak dibeli online. Cukup efektif, buka marketplace, cari barang, liat review, lalu pesan. Dan barang akan datang diantar ke rumah. Ada tangga lipat, alat las, gerinda, perkabelan, besi, dll.

Irit dong, kalau dikerjain sendiri ? Belum tentu juga, karena speknya jadi makin tinggi dan pengerjaannya disela-sela kerjaan kantor, belum lagi cuaca yang sering hujan atau kelewat panas. Jadi kalau tukang biasa bisa selesai seminggu, yang ini tukang luar biasa bisa selesai empat bulan. 😅

Ndak apa deh. Terus sehat bersemangat, berkarya dan berWfh, di belantara covid ya, semuanya !

Leave a comment